BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam
adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa
sallam, dan intinya adalah iman dan amal.
Iman
dan amal, atau aqidah dan syari’ah kedua-duanya berkaitan satu sama lainnya
seperti keterkaitan antara buah dan pohonnya.
Iman
mencerminkan aqidah dan pokok-pokok yang menjadi landasan syari’at Islam. Dan
dari dasar-dasar ini keluarlah cabang-cabangnya. Amal mencerminkan syari’ah dan
cabang-cabang yang dianggap sebagai
tindak lanjut dari iman dan aqidah.
Pengertian
iman atau Aqidah meliputi enam perkara :
1)
Ma’rifat kepada Allah, ma’rifat kepada nama-nama-Nya yang baik dan
sifat-sifat-Nya Yang Tinggi, ma’rifat kepada dalil-dalil wujud-Nya dan
fenomena-fenomena keagungan-Nya di alam semesta ini.
2) Ma’rifat kepada alam yang ada dibalik alam semesta ini
atau alam yang tidak dapat dilihat (alam ghaib).
3) Ma’rifat kepada Kitab-kitab Allah yang diturunkan untuk
menentukan rambu-rambu kebenaran dan kebathilan, kebaikan dan kejahatan, halal
dan haram, yang baik dan yang buruk.
4) Mar’rifat kepada para nabi dan rasul Allah yang telah
dipilih untuk menjadi penunjuk jalan dan pembimbing makhluk untuk mencapai
kebenaran.
5) Ma’rifat kepada hari akhir dan hal-hal yang ada didalamnya.
6) Ma’rifat terhadap qadar (takdir).
Pemahaman
tentang iman ini adalah aqidah yang menjadi muatan kitab-kitab yang diturunkan
oleh Allah, ajaran yang dibawa oleh para Rasul-Nya, dan wasiat-Nya kepada
umat-umat terdahulu maupun umat belakangan. Sesungguhnya Allah menjadikan aqidah
ini berlaku umum bagi seluruh manusia dan kekal sepanjang masa karena ia
mempunyai dampak yang jelas dan manfaat yang tampak dalam kehidupan individu
maupun masyarakat. Ma’rifat kepada Allah, membangkitkan
kebaikan-kebaikan, membina rasa senantiasa diawasi oleh Allah
(muroqobah), memotivasi untuk mencari hal-hal yang luhur dan mulia, menjauhkan
manusia dari sifat nista dan hina. Ma’rifat kepada para malaikat,
mendorong sesorang untuk mencontoh sifat-sifat mereka (dlm hal kesucian) dan
tolong menolong mereka dalam kebenaran dan kebaikan, sehingga mendorong manusia
kepada kesadaran dan kewaspadaan yang sempurna sehingga yang timbul dari diri
manusia adalah hal-hal yang mulia. Ma’rifat kepada kitab-kitab Allah,
mendorong manusia untuk mengetahui manhaj (sistem kehidupan) yang digariskan
Allah untuk umat manusia agar menempuh manhaj tersebut untuk mencapai
kesempurnaan materi maupun etika. Ma’rifat kepada para Rasul,dimaksudkan
untuk mengetahui langkah-langkah mereka dan meneladani apa yang mereka lalukan
sebagaimana yang dikehendaki Allah untuk setiap umat manusia. Ma’rifat
kepada hari akhir, sebagai pendorong yang paling kuat untuk mengerjakan
kebaikan dan meninggalkan keburukan. Ma’rifat terhadap qadar, dapat
memberikan bekal kepada seseorang dengan berbagai potensi dan kekuatan yang
mampu menghadapi berbagai hambatandan kesulitan, dan dihadapannya
persoalan-persoalan besar menjadi kecil. Hal yang demikian (aqidah) dimaksudkan
untuk membersihkan perilaku, menyucikan jiwa dan mengarahkan kepada nilai-nilai
yang paling luhur, disamping ia merupakan kebenaran yang kokoh dan tidak
berubah-ubah. Sehingga menanamkan aqidah kepada jiwa, merupakan cara yang
paling tepat untuk mewujudkan unsur-unsur yang baik. Karena sesungguhnya aqidah
merupakan sumber berbagai perasaan yang muia, lahan untuk menanamkan berbagai
perasaan yang baik, dan tempat tumbuhnya perasaan yang luhur.
Para
Rasul menyampaikan aqidah kepada umatnya dengan cara yang seluruhnya mudah
dipahami, sederhana dan logis. Para Rasul mengajak mereka untuk memperhatikan
kerajaan langit dan bumi, membangkitkan akal mereka untuk berpikir tentang
ayat-ayat Allah, mengingatkan fitrah mereka kepada perasaan beragama yang telah
ditanamkan kepadanya, dan menumbuhkan kesadaran akan adanya alam dibalik alam
materi ini. Dengan cara-cara tersebut Rasulullah membangkitkan aqidah dalam
jiwa umatnya, mengarahkan pandangan dan pikiran mereka, membangkitkan akal dan
mengingatkan fitrah mereka, seraya merawatnya dengan pendidikan dan
pengembangan hingga mencapai puncak kesuksesan.
Penyimpangan
dari manhaj para nabi disebabkan oleh berbagai perselisihn politik, kontak
dengan berbagai aliran pemikiran dan keagamaan, dan menjadikan akal sebagai
hakim tentang masalah yang berada di luar kemampuannya. Hal tersebut menjadi
sebab bergesernya iman. Pada dasarnya aqidah itu semuanya sama (tidak berbeda),
namun ketika akal menjadi ‘hakim’ yang terjadi adalah para pengemban akidah
terpecah belah menjadi berbagai aliran dan masing-masing mengklaim diri sebagai
kelompok yang paling benar. Berbagai perdebatan muncul sehingga kedudukan
aqidah menjadi melemah. Kelemahan aqidah ini diikuti oleh kelemahan umum yang
melanda individu, keluarga, masyarakat dan negara, bahkan pada setiap segi
kehidupan.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penuluisan makalah ini,
penulis merumuskan beberapa masalah diantaranya sebagai berikut:
1.
Pengertian Ma’rifatullah
2.
Cara
Bermakrifat
3.
Dzat Ilahiyah
4.
Sifat-Sifat Allah
5.
Hakikat Iman dan Buahnya
6.
Yang
Menjadi Kekhawatiran Orang-orang makrifat
7.
Ma’rifat
Kepada Allah Bererti Menemukan Puncak Kebesaran Nikmat
8.
Ciri-ciri
Orang Yang Ma’rifat Kepada Allah
9.
Pandangan
Para Ulama’ tentang Ma’rifat
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Guru Madrasah Ibtida’iyah
2.
Menambah wawasan penulis dan pembacanya
mengenai Ma’rifat Allah
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan
yang digunakan adalah sebagai berikut :
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.
LatarBelakang,
2.
RumusanMasalah
3.
Tujuan
Penulisan
4. SistematikaPenulisan
BAB II PEMBAHASAN
1.
Pengertian Ma’rifatullah
2. Cara Bermakrifat
3. Dzat Ilahiyah
4. Sifat-Sifat
Allah
5. Hakikat Iman dan Buahnya
6. Yang Menjadi Kekhawatiran Orang-orang
makrifat
7. Ma’rifat Kepada Allah Bererti Menemukan
Puncak Kebesaran Nikmat
8. Ciri-ciri Orang Yang Ma’rifat Kepada
Allah
9. Pandangan Para Ulama’ tentang Ma’rifat
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan
DAFTAR
PUSTAKA
BAB II
MA’RIFATULLAH
2.1 Pengertian Makrifatullah
Ma’rifatullah merupakan puncak pengetahuan bahkan merupakan
pengetahuan yang paling agung. Ia merupakan asas yang menjadi landasan
kehidupan rohani seluruhnya.
Definisi dan maksud makrifat dalam
pandangan ulama' tasawuf :
Sheikh Abdus Samad Al-Palembangi berkata makrifat adalah
tujuan terakhir yang ingin diperolehi oleh ulama’ tasawuf, karena perkara itu, baginya, adalah
syurga, ”barangsiapa masuk akan ia (makrifat) tiada ingat ia akan
syurga di akhirat“. Oleh itu, beliau berpendapat seluruh maqamat yang terdapat
diperingkat mujahadah al-maqamat dikatakan sebagai “jalan yang menyampaikan
kepada makrifat Allah swt.” Allah swt berfirman,
Artinya, ”barangsiapa takut kepada maqam tuhan nya akan dapat
dua syurga.”(al-Rahman:46)
Ahli Tafsir berpendapat yang dimaksudkan dua syurga di sini
ialah syurga dunia dan syurga akhirat. Syurga akhirat (taman indah) yang akan
didiami oleh orang mukmin diakhirat kelak, manakala syurga dunia ialah makrifat
dengan matahati (syuhud), yang sangat lazat, sedap, manis sehingga tidak hendak
lagi akan syurga akhirat itu seperti bidadari-bidadari, makanan-makanan syurga,
kota-kota, mahligai-mahligai, pelayan-pelayan muda beliau dan lain-lain lagi.
Begitulah seperti dikatakan tuan guru Haji Daud, Bukit Abal, syurga makrifat tersangatlah
lazat dan sedapnya.
Sheikh Al-Jurjani berkata, al-Makrifat bermaksud “Mengetahui
hakikat sesuatu dan tujuan kewujudan nya, ialah makrifat didahului dengan sifat
al-jahil, berbeza dengan sifat al-ilm”. Oleh kerana itu dinamakan Allah swt sebagai
al-‘Alim bukan al-‘Arif.[1]
Sheikh Ibnu ‘Athaillah berkata, ”Makrifat ialah mengetahui
hakikat sesuatu dari sudut zat dan sifat serta mengetahui fungsinya”[2]
Tuan guru Haji Daud Umar, Bukit Abal, mengatakan, makrifat
tasauf ialah mengenal Allah swt melalui musyahadah matahati dan bukan melalui
dalil akli dan nakli.
Makrifat manusia terhadap Allah swt yang telah dialami
semenjak di alam arwah itu boleh menjadi terlupa dan terhijab dengan
sifat-sifat kemanusiaan yang terdapat pada diri seorang yang salik dan
dosa-dosa yang mereka lakukan. Ruh berasal dari alam arwah, seni, halus, bebas
dan cemerlang. Setelah dimasukkan kedalam jasad, maka ia menjadi terlupa karena memasuki jasad yang gelap,
terbelenggu dan kasar. Untuk mengingatinya kembali, seorang itu perlu bermujahadah
bagi membersihkan hatinya, seperti firman Nya, “Dan orang yang berkerja keras
didalam agama kami, sesungguhnya kami akan pimpin mereka
dijalan-jalan kami dan sesunggohnya Allah berserta orang-orang yang berbuat
kebaikan.”(al-Ankabut:69)
2.2
Cara Bermakrifat
Ada
dua sarana untuk melakukan ma’rifatullah yaitu :
1) Memikirkan
dan memperhatikan segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah.
Menggunakan akal fikiran untuk berma'rifat kepada Allah SWT
begitu banyak disinggung dalam Al-Quran
:
Berbagai
ayat Mengenai hal ini dapat dibaca pada bab Quran & Sains.
Beberapa contoh ayat yang
menjelaskan hal ini:
قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Katakanlah: Periksalah olehmu semua apa-apa yang ada di langit dan bumi...(Q.S. Yunus: 101)
وَكَأَيِّنْ مِنْ آَيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ
"Alangkah Banyaknya ayat (tanda kekuasaan Allah) di langit dan bumi yang mereka lalui, tetapi mereka itu semua membelakanginya saja (tidak memperhatikannya)." (Q.S. Ysuf: 105).
2) Mengenal
nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya.
Nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan perantara yang
digunakan Allah Ta'ala agar Makhluknya dapat berma'rifat kepadaNya.
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا
تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
Katakanlah: Serulah Allah atau
serulah Rahman, mana saja nama Tuhan yang kamu seru, Dia adalah mempunyai
nama-nama yang baik..." (Q.S. Al-Ira': 110)
Jumhur ulama bersepakat bahwa nama-nama Allah yang baik
(Asmaul Husna) itu ada 99 nama. Hal ini berlandaskan pada hadis riwayat
Bukhari, muslim dan Tirmidzi yang menjelaskan hadis dari Abu Hurairah
Rasulullah saw bersabda yang artinya: Allah itu mempunyai sembilan puluh [3]sembilan
nama. Barangsiapa yang menghafalnya (mengingatnya dan menghadirkan dalam
kalbu), ia masuk surga. Sesungguhnya Allah itu Maha Ganjil dan cinta kepada hal
yang ganjil".
Ma’rifatullah dapat dilakukan dengan bertafakur.
Sesungguhnya tiap organ tubuh mempunyai tugas, sedangkan tugas akal adalah
merenungkan, memperhatikan dan memikirkan. Jika potensi ini tidak difungsikan
maka hilanglah kerja akal dan tidak berfungsi pula tugasnya. Islam menghendaki
agar akal bangkit melepaskan diri dari belenggunya dan bangun dari tidurnya.
Tidak memfungsikan akal dapat menurunkan derajat manusia ke
tingkatan yang lebih rendah dari derajat binatang. Taqlid (mengikuti orang lain
tanpa mengetahui alasan dan tujuannya) menjadi penghalang bagikemerdekaanakal
dan pengekang akal untuk berpikir. Oleh karena itu Allah memuji orang-orang
yang bersikap objektif terhadap berbagai fakta dan dapat membedakan antara yang
satu dengan yang lain, sesudah diteliti, diperiksa, dan dicermati lalu mereka
mengambil yang terbaik dan meninggalkan yang lain. Allah mencela orang-orang
yang bertaqlid yang tidak mau berpikir kecuali mengikuti pikiran orang lain.
Ketika Islam mengajak manusia untuk berpikir, sesungguhnya apa yang
dikehendakinya adalah berpikir dalam batas kemampuandan jangkauan akal.
“Berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan jangalah kamu
memikirkan tentang dzat Allah, sebab kamu tidak akan dapat memikirkan kadar
kedudukan-Nya(sebagai mana mestinya).” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam
alHilyh secara marfu’ kepada Nabi dengansanad yang lemahtetapi maknanya
shahih).
Diantara tujuan paling mulia yang
dikehendaki Islam dari upayanya membangkitkan akal dan memfungsikannya untuk
merenung dan memikirkan sesuatu adalah memberi petunjuk kepada manusia agar
memahami dan kemudian membimbingnya dengan lembut kepada hakikat yang besar
yakni mengenal Allah. Sesungguhnya ma’rifatullah itu hanyalahhasil kerja akal
pikiran yang cerdas dan memperoleh ilham, dan buah pemikiran yang mendalam dan
cemerlang. Sarana lain yang dipergunakan Islam untuk mengenalkan manusia kepada
Allah dengan menjelaskan nama-nama Allah yang baik (al-Asma’ al-Husna) dan
sifat-sifat-Nya yang luhur.
“Katakanlah: serulah Allah dan serulah Ar-Rahmaan. Dengan
nama yang mana saja yang kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaul-Husna (nama-nama
yang terbaik)”
(Al-Israa’ : 110)
“Dan bagi Allah-lah nama-nama yang terbaik, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut Asmaul-Husna itu.” (Al-A’raaf : 180)
2.3 Dzat Ilahiyah
Sesungguhnya hakikat Dzat Tuhan tidak dapat diketahui oleh
akal. Sebab Dzat tuhan memang tidak dapat dijangkau oleh akal, dan
sesungguhnya meskipun akal manusia itu cerdas dan kemampuan untuk mengetahui
sesuatu telah mencapai puncaknya namun ia sangat terbatas dan sangat lemah
untuk mengetahui [4]hakikat
berbagai hal. Akal pun tidak mampu mengetahui (hakikat) jiwa manusia itu
sendiri. Padahal jiwa manusia itu bukanlah suatu hal yang asing. Persoalan
tentang jiwa masih merupakan [5]salah
satu persoalan yang sulit dipecahkan oleh ilmu pengetahuan maupun fisafat. Akal
juga tidak dapatmengetahui hakikat cahaya. Padahal cahaya merupakan barang yang
paling tampak dengan sangat jelas. Ilmu manusia sampai sekarang ini masih tidak
mampu menguak banyak hal tentang hakikat alam semesta ini, dan tidak mampu
berbicara tentang hal itu secara pasti. Seorang ahli falak terkenal, Kamikl
Flamaryun dalam btkunya “Kekuatan Alam Yang Misteri” berkata : “Kami melihat
diri kami sedang berfikir. Namun apa itu berpikir? Tidak seorang pun dapat
menjawab pertanyaan ini, dan kami melihat diri kami sedang berjalan. Akantetapi
apa sebenarnya kerja oto itu? Tidak seorang pun mengetahui hal itu.”
Keterbatasan akal pikiran, kelemahan untuk mengetahui hakikat sesuatu, dan
ketidakmampuan akal untuk mengetahui hakikat jiwa manusia tidaklah berarti
menafikan keberadaannya. Kelemahan akal untuk mengetahui hakikat cahaya tidak
berarti menafikan adanya cahaya yang memancar diberbagai ufuk. Demikian pula
mengenai dzat Tuhan. Bila manusia tidak mampu mengetahui hakikatnya, maka tidak
berarti bahwa Dia tidak ada,bahkan Dia ada dan keberadaan-Nya jauh lebih kuat
dari segala yang ada. Orang yang meminta pembuktian atas adanya Tuhan bagaikan
orang buta yang menuntut bukti atas adanya matahari di siang hari bolong.
2.4 Sifat-Sifat Allah
Sifat-sifat
yang dimiliki Allah yang diantaranya
disebut sifat salsabiyah dan di antaranya ada yang disebut sifat tsubutiyah.
Sifat salsabiyah adalah sifat yang meniadakan segala sesuatu yang
tidak layak bagi kesempurnaan Allah.
Sifat
salsabiyah tersebut adalah Al-Awwal dan Al-Akhir. Allah adalah dzat yang
maha dahulu, artinya bahwa tiada permulaan bagi wujud-Nya dab bagwa wujud Allah
tanpa didahului dengan tahap tiada. Allah adalah dzat yang Maha Akhir.
Artinya bahwa Allah itu dzatnya tiada akhir, kekal tanpa batas, dan tanpa
berkesudahan. Dia itu Azali (Maha dahulu) dan abadi, tidak didahului oleh
siapapun.
“Dialah
yang Awwal dan yang Akhir, yang Dhahir dan yang Bathin dan Dia mengetahui
segala sesuatu.”(Al-Hadiid
: 3)
“Tiap-tiap
sesuatu pasti binasa, kecuali Allah”(Al-Qashash :88)
Menurut
keterangan hadits-hadits yang ada tampak bahwa ‘Arasy merupakan makhluk bagian
atas yangpertama kali diciptakan dan bahwasanya air merupakan makhluk berupa
benda yang pertama kali diciptakan. Dan air ini diciptakan sebelum penciptaan
‘Arasy sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi. Sesudah
penciptaan ‘Arasy dan air barulah kemudian Allah menciptakan langit dan bumi.
Begitu juga tampak dari hadist shahih yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Tirmidzi
bahwa makhluk ma’nawi yang pertama kali diciptakan adalah Qalam (pena).
“Diriwayatkan
dari Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi bersabda: Sesuatu
yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah qolam(pena). Kemudian Allah
berfirman kepadanya :’Tulislah’. Kemudian qalam itu terus berjalan mencatat apa
yang ada (segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini) sampai datangnya
hari kiamat.” (HR
Bukhari)
Perlu
diketahui tidaklah benar seseorang yang berkata: “Allah telah menciptakan
makhluk-makhluk, lantas siapa yang menciptakan Allah?” Hal ini disebabkan
pertanyaannya keliru. Pencipta itu bukan makhluk. Sebab andaikata Dia makhluk
niscaya memerlukan pencipta. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengetahui dzat
Tuhan, sedangkan mengetahui hakikat dirinya pun tidak tahu.
“Orang
akan selalu bertanya, sehingga ditanyakan juga hal yang berikut: “Allah telah
menciptakan makhluk lalu siapa yang menciptakan Allah?” Maka barang siapa
menjumpai pertanyaan seperti itu hendaklah ia berkata: Aku beriman kepada Allah
(Yang Maha Pencipta).” (HR. Imam Muslim)[6]
Allah
yang Maha Suci tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dan Dia tidak sama
dengan apapun. Segala sesuatu yang terlintas dibenak anda maka Dia tidaklah
seperti itu.
“Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (Asy-Syuura
: 11)
Manusia
diciptakan oleh Allah dalam keadaan lemah, sedangkan Allah Maha Kuat dan Maha
Perkasa. Manusia diciptakan dalam keadaan memerlukan pertolongan orang lain,
sedangkan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji. Manusia beranak dan diperanakkan,
sedangkan Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Manusia pelupa, sedangkan
Allah tidak pernah keliru dan tidak pula lupa. Manusia serba berkekurangan
sedangkan Allah Maha Sempurna secara mutlak.[7]
“Katakanlah,Dialah
Allah yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nyasegala
sesuatu, yang tiada beranak dan tiada diperanakkan, dan tidak ada seorang pun
yang setara dengan-Nya” (Al-Ikhlas : 1-4)
Allah
Maha Esa di dalam Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya.
Keesaan Dzat, maksudnya adalah bahwasanya Allah itu tiada sekutu bagi-Nya
di dalam kerajaan-Nya.
“Maha
Suci Allah, Dialah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan” (Az-Zumar : 4)
Adapun
sifat Allah berikutnya adalah sifat-sifat yang tsubutiyah. Allah
itu Maha Kuasa, tidak lemat sedikitpun untuk mengerjakan sesuatu. Allah
itu Maha Berkehendak(Iradah), yakni Allah menentukan sesuatu yang
mungkin ada dengan sebagian apa yang pantas berlaku untuknya. Allah bebas
berkehendak menjadikannya tinggi atau pendek, baik atau buruk, berilmu atau
bodoh, dll. Allah itu Maha Mengetahui (Ilmu), yakni mengetahui segala
sesuatu, dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu yang ada, baik yang terjadi di
masa lampau atau yang sedang terjadi atau yang akan terjadi. Allah itu Dzat
yang Maha Hidup (Hayat), yakni sifat hidup inilah yang membuat pihak yang
disifatinya menjadi layak menerima sifat qudrah, iradah, ilmu, sama’, dan
bashar. Andaikata Dia tidak hidup maka sifat-sifat tersebut tidak aka nada
pada-Nya. Allah itu Maha Berbicara (Kalam), yakni tidak dengan huruf dan
tidak pula dengan suara. Allah telah menetapkan sifat ini kepada diri-Nya
sendiri. Allah itu Maha Mendengar, yakni dapat mendengar segala sesuatu
sehingga Dia benar-benar, dapat mendengar langkah-langkah semut hitam yang berjalan
di atas batu licin diwaktu malam yang gelap gulita. Sebagaimana Dia mampu
mendegar segala sesuatu, Dia-pun Maha Melihat, yakni melihat segala
sesuatu dengan penglihatan menyeluruh mencakup segala yang a[8]da.
Penglihatan Allahtidaklah menggunakan mata seperti cara melihat makhluknya.
Sifat-sifat
Allah diantaranya ada yang disebut sifat Dzat, dan ada juga yang disebut
sifat-sifat af’al (perbuatan). Sifat Dzat adalah tsubutiyah atau sifat-sifat
ma’ani sebagaimana yang diuraikan sebelumnya. Adapun sifat-sifat af’al
(perbuatan) adalah seperti mencipta dan memberi rezeki. Sesungguhnya kita wajib
berjalan mengikuti petunuk sifat-sifat Allah itu, menggunakannya sebagai cahaya
penerang jalan, menjadikan sebagai contoh tauladan teritinggi, dan mencapai
puncak ketinggian jiwa dan peningkatan ruhani yang sempurna. Allah “Rabbul-‘Alamin”
merupakan teladan tertinggi yang wajib diteladani oleh orang beriman, Allah “Maha
Pemurah” mengaruniakan nikmat pada makhluk-makhluk-Nya, dan menampakkan
cinta-Nya kepada mereka, sekalipun mereka tidak mengerjakan suatu amal yang
menyebabkan mereka berhak menerima hal itu. Allah “Maha Pengasih”
memberikan balasankepada manusia atas amal perbuatanya. Ini juga merupakan
contoh yang sangat tinggi, yang mengharuskan umat manusia membalas kebaikan
orang lain dengan kebaikan pula. Allah “Yang menguasai hari pembalasan”
menghitung amal perbuatan manusia, lalu memberikan balasan kepada orang yang
berbuat buruk dengan balasan setimpal, bukan karena senang menyiksa, melainkan
dengan semangat toleransi (bersediamemberi maaf). Sebagaimana seorang pemimpin
yang penyayang wajib bersikap seperti itu terhadap yang dipimpinnya. Keempat
sifat-sifat Allah tertinggi yang palinng utama, serta keteladanan-Nya yng
sangat tinggi. Apa saja pelajaran yang dapat diambil dari sifat-sifat ini juga
berlaku untuk sifat-sifat yang lain. Dari keempat sifat Allah ini dapat diambil
pelajaran untuk dijadikan tauladan. Demikian pula halnya dari sifat yang lain.
Misalnya sifat cinta dan sayang merupakan cerminan dari sifat-sifat
Allah berikut : 1) Ar-Rauf (Maha Belas Kasihan), 2) Al-Wadud (Maha Mencintai),
3) At-Tawwab (Maha Menerima Taubat), 4) Al-‘Afuw (Maha Memaafkan), 5)Asy-Syakur
(Maha Pemberi Balasan), 6) As-Salaam (Maha Damai), 7)Al-Mu’min (Maha Pemberi
Rasa Damai), 8)Al-Baar (Maha Baik Dalam Tindakan Dan Pemberian), 9)Rafi’ud
Darajaat (Maha Meninggikan Derajat), 10)Ar-Razaq (Maha Pemberi Rezeki), 10)
Al-Wahhab (Maha Pemberi Karunia), 11) Al-Wasi’ (Maha Luas Anugrah-Nya).
Demikian pula halnya dengan sifat-sifat yang mempunyai makna ‘mengetahui’ yang
tercermin dalam sifat-sifat-Nya sebagai berikut: 1) Al-‘Alim (Maha Mengetahui),
2) Al-Hakim (Maha Bijaksana), 3)As-Sami’ (Maha Mendengar), 4) Al-Bashir (Maha
Melihat), 5) Asy-Syahid (Maha Menyasikan), 6)Ar-Raqib (Maha Mengawasi), 7)
Al-Bathin (Maha Mengetahui Rahasia).
2.5 Hakikat
Iman dan Buahnya
Iman
kepada Allah mencermikan hubungan paling mulai antara manusia dengan
Penciptanya. Hal ini dikarenakan makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah
manusia, dan sesuatu yang ada di dalam diri manusia yang paling mulia adalah
hatinya, sedangkan sesuatu yang ada di dalam hati yang paling mulia adalah
keimanan. Diantara manifestasi iman adalah ahwa Allah dan Rasul-Nya lebih
dicintai oleh orang yang beriman dari pada apapun juga, dan hal itu tampak
dalam ucapan, perbuatan dan perilakunya. Jika di sana masih ada sesuatu yang
lebih dicintainya dari pada Allah dan Rasul-Nya berarti imannanya tidak murni
lagi, dan akidahnya tergoncang. Nabi Muhammad bersabda :
“Ada
tiga hal; barangsiapa dalam dirinya terdapat tiga hal tersebut maka ia
benar-benar telah mendapatkan manisnya iman, yaitu: 1. Allah dan Rasul-Nyalebih
dicintai dari ada selain keduanya. 2. Ia mencintai seseorang semata-mata karena
Allah. 3. Ia benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci untuk dilempar
ke dalam neraka.”
Nabi juga bersabda :
“Tidaklah
beriman salah seorang dari kamu sehingga aku lebih dicintai dari pada orang
tuanya, anaknya, dirinya sendiri, dan manusia seluruhnya” (HR. Bukhari).
Sebagaimana
iman tercermin dalam bentuk cinta (kepada Allah dan Rasul-Nya), maka keimanan
juga tercermin di dalam jihad meninggikan kalimat Allah dan berjuang
meninggikan bendera kebenaran, menghentikan kezaliman dan kerusakan di
bumi. Pengaruh dan dampak iman akan tampak dengan jelas dalam rasa takut kepada
Allah.
“Sesungguhnya
yang taku kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Fathir :28)[9]
Bila
ma’rifat seseorang kepada Allah semakin sempurna maka sempurna pula rasa
takutnya kepada Allah. Manifestasi keimanan yang paling besar adalah berpegang
teguh kepada wahyu Allah. Iman dapat menumbuhkan hubungan yang beraneka macam.
Ia dapat mengikat hubungan antara orang-orang beriman dn Allah, dengan ikatan
kasih saying dan cinta. Iman juga dapat mempererat hubungan antar sesame kaum
mukminin atas dasar kasih sayang. Apabila manusia telah mengenal Tuhannya
melalui akal dan hati maka ma’rifat ini akan menghasikan buah yang masak
baginya dan meninggalkan dampak yang bagus dalam dirinya. Ma’rifat ini
juga akan mengarahkan perilakunya menuju kebaikan dan kebeneran, keluhuran dan
keindahan. Buah keimanan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Kemerdekaan jiwa dari kekuasaan
orang lain.
2.
Iman dapat membangkitkan keberanian
di dalam jiwa dan keinginan untuk terus maju, menganggap enteng kematiandan
menggandrungi mati syahid demi membela kebenaran.
3.
Keimananmenetapkan keyakinan bahwa
Allah-lah yang Maha Pemberi rezeki, dan bahwasanya rezeki tidak dapat
dipercepat karena kerakusan orang yang rakus, dan tidak pula dapat ditolak oleh
kebencian orang yang benci.
4.
Rasa tenang dan tentram.
5.
Keimanan dapat meningkatkan kekuatan
maknawiyah manusia dan menghubungkan dirinya dengan contoh taulan tertinggi.
6.
Kehidupan yang baik.10
2.6
Yang Menjadi Kekhawatiran Orang-orang makrifat
“Orang-orang makrifat jika dalam
keadaan lapang itu lebih kerasa kekhawatirannya, daripada ia dalam keadaan
kesempitan, serta ia tidak dapat tetap dalam berdiri diatas batas-batas adab
dalam keadaan lapang kecuali sedikit”.[10]
Memang kebanyakan manusia dalam
keadaan lapang itu ia lupa daratan akan hal yang harus diingat pada setiap
saat, yaitu Allah yang memberi kelapangan itu.
Dari keterlupaannya ia menjadi
orang yang berperilaku semau gue tanpa mengenal batas-batas yang menjadi ketent[11]uan
dalam agama. Ketahuilah bahwa dalam keadaan lapang itu hawa nafsu yang tadinya
terkuasai ini terbalik menguasai, sebagaimana telah diterangkan di bab
sebelumnya bahwa hawa nafsu itu mengajak kepada perbuatan tercela.
Sebenarnya dalam keadaan
bagaimanapun orang harus ingat dan takut kepada Allah baik dalam keadaan lapang
maupun dalam keadaan sempit.
Perhatikan sabda Rasulullah SAW :
“ITTAQILLAAHA HAITSU MAA KUNTA”
“Takutlah kepada Allah
dimana kau berada”
Akan
tetapi menurut orang-orang makrifat dalam keadaan lapang ia banyak
kekhawatirannya daripada dalam keadaan sempitnya. Sebab menurut mereka dalam
keadaan lapang itu suatu kesempatan bagi hawa nafsu. Nah, dari sinilah mereka
khawatir kalau nanti tertarik oleh ajakan hawa nafsu. Misalnya : selalu
mempercaturkan tentang berbagai
kebendaan dunia, dan berbagai kekeramatan yang membikin aib dan risaunya hati
dalm mengingat kapada Allah padahal bagi orang yang berma’rifat dia harus
menghindar dari sifat tersebut untuk menjernihkan hati didalam menghadap Allah.
Memang dalam keadaan lapang itu biasanya banyak manusia tergelincir olehnya,
demikian sebaliknya dalam keadaan sempit bagi orang ma’rifat lebih mendekatkan
kepada keselamatan.11
2.7 Ma’rifat Kepada Allah Bererti Menemukan
Puncak Kebesaran Nikmat
Manusia
diberi fitrah oleh Allah sejak ia dilahirkan dalam kandungan ibunya. Dari
fitroh itu manusia dituntut supaya mengenal Tuhannya. Sebagai pencipta dan
pelindung dirinya. Walaupun ia sudah diberi fitroh oleh Allah tapi nia tidak
mendapat anugerah dari-Nya tentu ia tidak akan bisa mengenal Allah secara
hakiki.
Oleh
sebab itu manusia yang tidak mendapat anugerah dari Allah, mereka akan menemui
bermacam-macam pandapat dalam mengenal Tuhan ini, antara lain : ada manusia
yang menuhankan dirinya, seperti Fir’aun, hidup di masa Nabi Musa, dan ada juga
yang munuhankan kepada batu (patung) seperti Raja Namrud beserta pengikutnya
yang hidup pada zaman Nabi Ibrahim.[12]
Jika
Allah telah menunjukkan kepada hambanya dengan sebagian sebab-sebab sehingga ia
jadi orang yang ma’rifat, kemudian kepadanya dibukakan pintu kema’rifatan
sehingga ia mendapat ketenangan yang luar biasa, dan ini adalah merupaka ma’rifat
yang paling besar.
“Dan demikianlah Kami perlihatkan
kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di
bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap,
dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: `Inilah Tuhanku`. Tetapi tatkala
bintang itu tenggelam dia berkata: `Saya tidak suka kepada yang tenggelam`. Kemudian tatkala dia melihat
bulan terbit dia berkata: `Inilah Tuhanku`. Tetapi setelah bulan itu terbenam
dia berkata: `Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat`. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: `Inilah Tuhanku,
ini yang lebih besar`, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata:
`Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan” (Al-An’am 75-79)
Demikianlah
liku-liku Ibrahim dalam mencari Tuhan yang sebenarnya. Akhirnya ia menjumpai
tuhan yang sebenarnya yaitu Allah.
Inilah
ma’rifatnya Ibrahim kepada Allah yang merupakan anugerah dari-Nya sehingga ia
mendapatkan kenikmatan yang besar dan ketenangan yang luar biasa.
Apabila
kamu mendapat jalan ma’rifat yang hakiki maka janganlah kamu hiraukan amalmu
yang sedikit. Sebab diatas telah diterangkan bahwa ma’rifat itu adalah anugerah
dari Allah yang datangnya tidak menggantungkan akan banyak atau sedikitnya amal
kebaikan.
Ketauhilah
bahwa sesungguhnya maksud dan tujuan manusia memperbanyak amal kebaikan itu
adalah agar dia dapat mentaqorubkan (mendekatkan) diri kepada Allah. Maka dari
itu amal yang sedikit tapi disertai ma’rifat kepada Allah, itu lebih baik
dibandingkan dengan amal yang banyak tapi tidak disertai ma’rifat kepada Allah.
Dalam
hal ini dapat dimisalkan seperti orang menderita sakit, disebabkan penyakit
yang dideritanya ini maka menjadi berkuranglah ibadanya kepada Allah. Bahkan
penyakit yang dideritanya itu dapat menimbulkan salah satu pintu kema’rifatan
kepada Allah.13
2.8
Ciri-ciri Orang Yang Ma’rifat Kepada Allah,
yaitu :
· Orang yang berma’rifat kepada allah
selalu mengesakan Allah, memuliakan dan mengutamakan Allah, Selalu mendekatkan
diri kepada Allah pada waktu susah maupun senang. Begitu juga dalam pandangan
mata hatinya, sepenuhnya tertuju pada kekuasaan Allah.
· Orang yang berma’rifat kepada Allah,
merasa dirinya selalu diawasi dan di saksikan oleh Allah, selalu berusaha
menjaga hatinya, fikiran maupun tingkah lakunya dari maksiat.
· Didalam hati orang yang berma’rifat
harus bersih dari sifat kikir, hawa nafsu dan sifat suka membanggakan dirinya
sendiri.
· Orang-orang ma’rifat, hidupnya sederhana
tapi semangat untuk berjuang, beramar ma’ruf nahi munkar, dalam arti nyata
misalnya: Dia bersedekah atau menolong
fakir miskin dengan ikhlas, tanpa ingin di puji, tanpa ingin mengharap imbalan
dan semata-mata mencari ridho Allah.
Batasan tingka laku
orang ahli ma’rifat :
·
Orang
ahli ma’rifat mengenal Allah, sehinnga antar manusia dan Allah tidak ada
perantara. Sehingga seolah-olah mampu berkomunikasi langsung.
·
Semua
dasar dan tuntunan hidup adalah berdasar ajaran rosululloh SAW, dan berusaha
meninggalkan akhlak yang rendah atau tercelah.
·
Menyerahkan
hawa nafsu ( emosi ) menurut kehendak Allah yang dijelaskan dalam Al-Qur’an.
·
Kita
ini dan semua ini milik Allah dan hanya kepadanyalah kita semua ini akan
kembali.
2.9 Pandangan Para Ulama’ tentang Ma’rifat
1) Pandangan Al-muhasibih tentang ma’rifat
Al-muhasibih mengatakan
bahwa ma’rifat harus di tempuh melalui jalan taswuf yang didasarkan pada kitab
dan sunnah.
Al-Muhasibih menjelaskan
tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut :
a. Taat. Awal dari kecintaan kepada Allah,
menurut Al-Muhasibih adalah taat. Taat tiada lain adalah wujud konkret ketaatan
hambahnya kepada Allah.Kecintaan kepada Allah hanya dapat di buktikan dengan
jalan ketaatan, bukan sekedar mengungkapkan ungkapan-ungkapan kecintaan semata
sebagaimana dilakukan oleh sebagaian orang. Mengekspresikan kecintaan kepa
Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengalaman merupakan kepalsuan
semata. Diantara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati
dengan sinar. Sinar ini kemudian melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang
lain.
b. Aktivitas anggota tubuh yang telah
disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
c. Pada tahap ketiga ini, Allah
menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan keghaiban kepada setiap orang yang
telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang
selama ini disimpan Allah.
d. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan
oleh semata sufi dengan fana yang menyebabkan baqa.
2) Pandangan Dzun nun Al-mishri tentang
ma’rifat
a. Sesungguhnya Al-ma’rifah yang hakiki
adalah bukan ilmu tentang keesaan tuhan sebagaimana yang telah di percayai oleh
orang-orang mukmin. Ia juga bukan ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim,
mutakalimin ahli balaghah. Akan tetapi , ia adalah al-ma’rifah kepada keesaan
tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah sebab mereka adalah sebab mereka
adalah orang yang menyaksikan Allah dengn mata hatinya, maka terbukalah baginya
apa yang tidak di bukakan untuk hambah-hambahnya yang lain.
b. Al-ma’rifah yang ia pahami adalah bahwa allah menyinari hatimu dengan
cahaya al-ma’rifah yang murni, Seperti mata hari tak dapat dilihat kecuali
dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hambah mendekat kepada Allah
sehingga terasa hilang darinya. Lebur (fanah) dalam kekuasaannya, mereka merasa
hambah berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka,
Melihat dengan penglihatan Allah, dan berbuat dengan pebuatan Allah.
3) Pandangan Al-ghozali tentang ma’rifat
Menurut
Al-ghozali ma’rifat adalah mengetahui
rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Allah tentang segala yang ada.
Dalam kitab ihya ulum ad-din, Al-ghozalih membedakan jalan pengetahuan sampai
kepada tuhan bagi oarang awam, ulama’
dan orang sufi. Oleh karena itu ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa
si fulan ada di dalam rumah, dengan mengikuti perkataan seorang bahwa si fulan berada di rumah tanpa
menyelidiki lagi. Bagi para ulma’ keyakinan adalh ibarat si fulan dirumah, di
bangun atas dasar ada tanda-tandanya seperti ada suara si fulan walaupun tidak
kelihatan orangnya. Sementara orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya
melalui suara di balik dinding lebih
jauh dari itu, iapun memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya, bahwa si fulan
benar-benar berada di rumah.
Ma’rifat
seorang sufi tidak dihalangi hijab, sebagaimana ia melihat si fulan berada di
rumah dengan mata kepalanya sendiri.
Ringkasnya, Ma’rifat
menurut Al-ghozali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat
para ulama’, tetapi ma’rifat sufi dibangun atas dasardzuq rohani dan kasyif
ilahi. Ma’rifat semacam ini dapat di capai oleh para khawash auliah tanpa
melalui perantara langsung dari Allah, sebagaimana ilmu kenabian yang langsung
di perolah dari Allah, walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara
nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah
melalui perantara malaikat allah, sedangkan para wali mendapatkan ilmu dari
ilham. Meskipun demikian, kedua-duanya sama-sama memperoleh ilmu dri Allah.[13]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kita yang telah
mengenal dan mengetahui keberadaan Allah sudah sepatutnya apabila kita
senantiasa mengabdikan diri secara bulat dan utuh semata-mata demi mengharapkan
Keridoannya. Salah satu tanda bagi orang yang berma’rifat kepada allah adalah,
bahwa ia senantiasa bersandar dan berserah diri kepada Allah semata. Apapun
yang telah dan akan terjadi pada dirinya selalu diterima dengan baik. Apabila
ia diberi kenikmatan ia bersyukur, sedang apabila ia mendapatkan musibah ia
terima dengan sabar.
Selain itu orang yang berma’rifat kepada Allah tidak pernah menyombongkan diri. Sebagi mahluk yang lemah dan tampa daya, manusia tidak bisa berbuat paa-apa kecuali atas pertolongan dan ijin-Nya. Menurut seorang ahli ma’rifat bernama al Junaid, bahwa seorang belum bisa disebut sebagai ahli ma’rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat :
Selain itu orang yang berma’rifat kepada Allah tidak pernah menyombongkan diri. Sebagi mahluk yang lemah dan tampa daya, manusia tidak bisa berbuat paa-apa kecuali atas pertolongan dan ijin-Nya. Menurut seorang ahli ma’rifat bernama al Junaid, bahwa seorang belum bisa disebut sebagai ahli ma’rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat :
a.
Mengenal Allah secara mendalam, hingga seakan-akan
dapat berhubungan secara langsung dengan-Nya.
b.
Dalam beramal selalu berpedoman kepada petunjuk-petunjuk
Rasulullah SAW.
c.
Berserah diri kepada Allah dalm hal mengendalikan
hawa nafsu.
d.
Merasa ahwa dirinya adalah kepunyaan Allah dan kelak
pasti akan kembali kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, sayyid. Aqidah Islamiyah : Pola Hidup Sederhana.
Dipponegoro: Robbani Press, 2008
Mz, Labib dan
Maftuh Ahnan. Kuliah Ma’rifat. CV. Bintang Pelajar
Solihin, M. Tokoh-tokoh Sufi. Bandung : Pustaka Setia,
2003
Izin copy latar balakang&kesimpulan mba....
ReplyDeleteOkee.....
ReplyDeleteBagus..
Deletesyukron katsir...sangat membantu
ReplyDeletemasih terlalu umum pemahaman yang dijabarkan... justru tidak menyingkap tentang tabir hakikat makrifatullah itu sendiri...
ReplyDeletejadi dimana sebetulnya maqam rasulullah ?
ReplyDeleteIzin copy kesimpulan ya kak dan sebagian isinya
ReplyDelete