Hujan, seperti
musik. Aku bisa mendengar iramanya dengan sangat jelas dari kamarku dan
ranjangku yang hangat. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada mendengar musik
hujan di pagi hari ketika terjaga dari tidur. Dunia basah dan damai dengan
udara yang dingin, dan bau harum taman yang tersiram hujan. Tak ada matahari
yang menyilaukan, yang selalu membuat kamarku seolah-olah berubah menjadi oven
yang panas menyengat.
Menunggu
saat-saat langit tinggal meneteskan sisa-sisa air yang dikandungnya, ketika
langit kelabu menjadi biru lagi, kadang muncul pelangi. Momen yang singkat itu
seperti keajaiban, peri-peri turun ke bumi lewat pelangi dan kalau mereka
mendengar keinginanmu, semua akan terkabul. Aku punya satu keinginan yang
kupendam sejak masih sekolah dasar. Bahwa suatu hari sehabis hujan akan ada
seorang laki-laki yang menggandeng tanganku dibawah halte bus dengan
titik-titik air di rambutnya. Impian yang bodoh ! Aku tahu. Tapi impian itu
sudah ada sejak dulu sekali.
Sekali kali
aku keluar dari rumahku dan melihat halte bus di seberang jalan dekat rumahku.
Aku selalu memimpikan laki-laki itu. Laki-laki yang bahkan belum pernah ku
temui. Sampai hari ini pun, ketika aku sudah SMA, ada sebagian hatiku yang
masih berharap suatu hari hal itu akan betul-betul terjadi.
Aku menyiapkan
payungku dan siap berangkat sekolah di pagi yang gerimis itu. Sekolahku ada di
dekat perempatan jalan Merpati. Aku selalu naik bus kesana.
“Tiara,
kebetulan sekali”, Fida, temanku tersenyum, “Aku
punya sesuatu untukmu”, Ia mengulurkan sehelai tiket untukku. “Ini tiket
untuk nonton konser di Alun-alun. Pukul empat sore nanti. Fendy membelikannya
untukku”, Fendy adalah pacar Fida, “Tapi, mendadak Fendy ada acara, aku
malas nonton sendirian. Mungkin kamu bisa memakai tiketku”, kata Fida. Aku sangat gembira sekali, “Aku sangat
berterima kasih, ini adalah kesempatan untuk bisa bertemu dengan vokalis bend
kesukaanku. Tapi sore nanti aku sibuk membantu ibuku. Tapi apa salahnya akan
kuusahakan”.
Ketika pulang
sekolah, hujan sudah berhenti. Tapi mendung masih mengantung di langit.
Beberapa menit menjelang pukul empat, aku keluar rumah mencari angkot untuk
pergi ke Alun-alun. Dan tidak lupa berpamitan dulu dengan wanita yang paling
aku sayangi. Di seberang jalan Fida mengingatkan, “kamu harus buru-buru,
sebentar lagi pasti hujan !”. ia sendiri terburu-buru mencari taksi. Aku cuma
tertawa melihatnya.
Fida benar,
tak sampai lima menit kemudian awan hujan mulai melepaskan tetes airnya ke
bumi. Wangi tanah basah langsung memenuhi udara, aku berlari ke emperan halte
bus sambil berusaha mencegat angkot yang lewat. Tapi, tak ada angkot kosong.
Air hujan yang jatuh ke jalan menciprati kakiku. Saat itulah aku merasa
keseimbangan tubuhku berkurang, karena menginjak batu kecil di jalan. Untung
saja aku tak sampai jatuh. Seseorang telah menolongku, dia bahkan menggandeng
tanganku menuju halte bus.
Deg !!! Seperti laki-laki yang kuimpikan. Ia tinggi, tapi
wajahnya manis sekali. Rambutnya kecoklatan, tersenyum basa-basi sekilas
padaku. Titik-titik air hujan berkilauan di rambutnya, seperti hiasan mimpiku
yang sengaja di pasang disana. Aku tak bisa berkata-kata lagi, selain ucapan
terima kasih untuknya karena telah menjadi pahlawan hujanku.
Hujan semakin deras. Tetes-tetes air dijalan mulai membentuk
genangan. Tak ada angkot kosong yang lewat. Laki-laki itu melirik jam
tangannya. “Ah, sudah terlambat”. Aku jadi ikut meirik jam tanganku. “Ah,
iya. Konsernya pasti sudah dimulai”. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku, “konser
??”. “Di Alun-alun kota”, sahutku. “kamu juga akan pergi kesana?
Ah kebetulan sekali”, ia tertawa mrnyenangkan. “Tapi kelihatannya tak
ada angkot, semuanya penuh”, kataku.
Ia tersenyum
sambil menyibakkan butir-butir air di rambutnya. “Apakah kita bisa masuk
kalau datang terlambat ?”, tanyanya. “Entahlah, aku baru kali ini nonton
konser di Alun-alun kota”, jawabku jujur. “Seharusnya aku berangkat
lebih awal”, aku menyesali diriku sendiri. “Aku juga”, katanya. Oh
tidak, jangan menyesalinya. Lihatlah sisi baiknya. Kita bisa bertemu disini
sekarang. “Lihatlah sisi baiknya”, katanya tersenyum dan mengulurkan
tangan, “Sena”.
Gilaaa !!!
Laki-laki ini seperti bisa membaca pikiranku. Sedikit gugup kusambut sentuhan
tangannya. “Mutiara”, kataku. “Nama yang cantik, seperti orangnya”,
sahutnya.
Sebuah taksi
didepan kita dan terbuka pintu mobil dengan seorang laki-laki yang tak kalah
manis dari Sena, dia teman Sena. “Sepertinya kita harus berpisah, aku
berharap kita bisa bertemu lagi”. Katanya manis.
Hujan mulai
mereda. Mendung di langit sore perlahan menghilang dan tergantikan bias
keemasan cahaya matahari yang perlahan memudar.
Sesampainya di
Alun-alun dengan senangnya aku melihat aksi band kesukaanku ini. Keluar dari
konser, wajah langit begitu cerah, langit pekat di taburi bintang-bintang, bagai
kue coklat ditaburi gula pasir. Aku pulang ditemani kenangan yang indah.
Besoknya hujan
turun lagi. Aku pergi ke sekolah dengan perasaan amat senang. Entah kenapa
rasanya sangat bersemangat. Mungkin karena kemarin melihat konser band
kesukaanku atau karena aku telah menemuan laki-laki impianku. Tapi apa aku bisa
bertemu dengannya kembali. “Ah, bodoh ! Untuk apa aku memikirkan hal seperti
itu ? Tapi laki-laki itu telah menghiasi impianku.
Hujan masih
mengguyur. Tepat saat aku akan pulang ke rumah, hujan berhenti. Seperti biasa aku melangkah
menuju halte bus sambil menikmati suasana sehabis hujan. Dan masih juga
berharap ada keajaiban baru turun ke bumi, sore ini.
SELESAI
No comments :
Post a Comment